Para ulama juga mengenal beberapa macam sunnah yang sumbernya langsung dari Rasulullah
Sunnah Qauliyyah ialah sunnah di mana
Rasulullah saw. sendiri
menganjur- kan atau
mensaranka n suatu amalan, tetapi
belum tentu kita mendapatka n dalil bahwa Rasulllah saw. pernah
mengerjaka nnya secara langsung.
Jadi sunnah Qauliyyah ini adalah sunnah Rasulullah saw. yang dalilnya/ riwayat- nya sampai kepada kita bukan dengan cara
dicontohka n, melainkan dengan
diucapkan saja oleh beliau saw. Di mana ucapan itu tidak selalu berbentuk
fi’il amr (kata perintah), tetapi bisa saja dalam bentuk anjuran, janji
pahala dan sebagainya .
Contoh sunnah qauliyyah yang mudah saja: Ada hadits
Rasulullah saw. yang
menganjurk an orang untuk belajar
berenang, tetapi kita belum pernah mendengar bahwa Rasulullah saw. atau para sahabat telah belajar atau kursus
berenang !!
Sunnah Fi’liyah ialah sunnah
yang ada dalilnya juga dan pernah dilakukan langsung oleh
Rasulullah saw. Misalnya ibadah
shalat sunnah seperti shalat istisqa’, puasa sunnah Senin Kamis, makan dengan
tangan kanan dan lain sebagainya . Para shahabat melihat langsung beliau saw.
melakukann ya, kemudian
meriwayatk annya kepada kita.
Sedangkan Sunnah Taqriyyah
ialah sunnah di mana Rasulullah saw. tidak melakukann ya langsung, juga tidak pernah
memerintah kannya dengan
lisannya, namun hanya mendiamkan nya saja. Sunnah yang terakhir ini
seringkali disebut dengan sunnah
taqriyyah. Contohnya ialah beberapa amalan para sahabat yang telah
kami kemukakan sebelumnya .
Begitu juga dengan amalan-ama lan ibadah yang belum pernah
dikerjakan oleh
Rasulullah saw. atau para
sahabatnya , tetapi diamalkan
oleh para ulama salaf (ulama terdahulu) atau ulama khalaf (ulama
belakangan ) misalnya
mengadakan majlis maulidin Nabi
saw., majlis tahlilan/ yasinan
dan lain sebagainya (baca keterangan nya pada bab Maulid Nabi saw.dan bab Ziarah
kubur). Tidak lain para ulama yang mengamalka n ini mengambil dalil-dali l baik dari Kitabullah atau Sunnah Rasulullah saw. yang menganjurk an agar manusia selalu berbuat kebaikan atau
dalil-dali l tentang
pahala-pah ala bacaan dan amalan
ibadah lainnya. Berbuat kebaikan ini banyak macam dan caranya semuanya mustahab
asalkan tidak tidak bertentang an
dengan apa yang telah digariskan oleh
syari’at.
Apalagi didalam majlis-maj lis (maulidin- Nabi, tahlilan/ yasinan, Istighotsa h) yang sering diteror oleh golongan tertentu,
disitu sering didengungk an
kalimat Tauhid, Tasbih, Takbir dan Sholawat kepada Rasulullah saw. yang semuanya itu
dianjurkan oleh Allah SWT. dan
Rasul-Nya. Semuanya ini
mendekatka n/ taqarrub kita kepada Allah SWT.!!
Mari kita rujuk ayat al-Qur’an:
وَمَا اَتَاكُمُ الرَّسُوْل ُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ
فَانْتَهُو ْا
‘Apa saja yang didatangka n oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan
apa saja yang kamu dilarang daripadany a, maka berhentila h (mengerjak annya). (QS. Al-Hasyr : 7).
Dalam ayat ini jelas bahwa perintah untuk tidak
mengerjaka n sesuatu itu adalah
apabila telah tegas dan jelas laranganny a dari Rasulullah saw. !
Dalam ayat diatas ini tidak dikatakan :
وَماَلَمْ يَفْعَلْهُ
فَانْتَهُو ْا
‘Dan apa saja yang tidak pernah
dikerjakan nya
(oleh Rasulullah ), maka
berhentila h
(mengerjak annya)’.
Juga dalam hadits Nabi saw. yang diriwayatk an oleh Bukhori:
فَاجْتَنِب ُوْهُ اِذَا
أمَرْتُكُم ْ بِأمْرٍ فَأْتُوْا
مِنْهُ مَااسْتَطَ عْتُمْ وَاِذَا
نَهَيْتُكُ مْ عَنْ شَيْئٍ
‘Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka
lakukanlah semampumu dan jika aku
melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia !‘
Dalam hadits ini Rasulullah
saw. tidak mengatakan :
وَاِذَا لَمْ أفْعَلْ شَيْئًا فَاجْتَنِب ُوْهُ
‘Dan apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka
jauhilah dia!’
Jadi pemahaman golongan yang melarang semua bentuk bid’ah dengan berdalil dua
hadits yang telah kami kemukakan Setiap yang
diada-adak an
(muhdatsah ) adalah… dan hadits
Barangsiap a yang didalam
agama… adalah tidak benar, karena adanya beberapa
keterangan dari
Rasulullah saw. didalam
hadits-had its yang lain dimana
beliau merestui banyak perkara yang merupakan prakarsa para sahabat sedangkan
beliau saw. sendiri tidak pernah melakukan apalagi memerintah kan. Maka para ulama menarik
kesimpulan bahwa bid’ah
(prakarsa) yang dianggap sesat
ialah yang mensyari’a tkan
sebagian dari agama yang tidak diizinkan Allah SWT. (QS Asy-Syura :21)
serta prakarsa-p rakarsa yang bertentang an dengan yang telah digariskan oleh syari’at Islam baik dalam Al-Qur’an maupun
sunnah Rasulullah saw., contohnya yang
mudah ialah:
Sengaja sholat tidak menghadap kearah kiblat, Shalat dimulai dengan salam
dan diakhiri denga takbir ; Melakukan sholat dengan satu sujud saja;
Melaku kan sholat Shubuh dengan sengaja sebanyak tiga raka’at dan lain
sebagai- nya. Semuanya ini dilarang oleh agama karena
bertentang an dengan apa yang
telah digariskan oleh syari’at.
Makna hadits Rasulullah
saw. diatas yang mengatakan ,
mengada-ad akan sesuatu
itu…. adalah masalah pokok-poko k agama yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang tidak boleh dirubah atau ditambah.
Saya ambil perumpamaa n lagi yang
mudah saja, ada orang mengatakan bahwa
sholat wajib itu setiap harinya dua kali, padahal agama
menetapkan lima kali
sehari. Atau orang yang sanggup tidak berhalanga n karena sakit, musafir dan lain-lain berpuasa
wajib pada bulan Ramadhan mengatakan bahwa kita tidak perlu puasa pada bulan tersebut
tapi bisa diganti dengan puasa pada bulan apapun saja. Inilah yang dinamakan
menambah dan mengada-ad akan
agama. Jadi bukan masalah-ma salah
nafilah, sunnah atau lainnya yang tidak termasuk pokok agama.
Telitilah isi hadits Qudsi berikut ini yang diriwayatk an Bukhori dari Abu Hurairah :
…… وَمَا تَقَرَّبَ اِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْئٍ أحَبَّ اِلَيَّ مِمَّا
افْتَرَطْت ُ عَلَيْهِ,
وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّب ُ أِلَيَّ بِالنّـَوَ افِلِ حَتَّى اُحِبَّهُ فَاِذَا
أحْبَبْتهُ كُنْتُ سَمْـعَهُ الَّذِي
يَسمَعُ بِهِ
وَبَصَرَهُ اَلَّذِي
يُبْصِرُبِ هِ, وَيَدَهُ اَلَّتِي
يَبْـطِشُ بِهَا وَرِجْلـَه ُ اَلَّتِي
يَمْشِي بِهَا
وَاِنْ سَألَنِي لاُعْطَيْن َّهُ وَلَئِنِ اسْتَعَـاذ َنِي لاُعِيْذَن َّهُ. (رواه البخاري)
“…. HambaKu yang mendekatka n diri kepadaku dengan sesuatu yang lebih Ku sukai
daripada yang telah Kuwajibkan
kepadanya, dan selagi hambaKu
mendekatka n diri kepadaKu dengan
nawafil (amalan-am alan atau sholat sunnah) sehingga Aku
mencintain ya, maka jika Aku
telah mencintain ya. Akulah yang
menjadi pendengara nnya dan
dengan itu ia mendengar, Akulah
yang menjadi penglihata nnya dan
dengan itu ia melihat, dan Aku yang menjadi tangannya dengan itu ia memukul
(musuh), dan Aku juga menjadi kakinya dan dengan itu ia berjalan. Bila ia mohon
kepadaKu itu pasti Kuberi dan bila ia mohon perlindung an kepadaKu ia pasti Ku lindungi”.
Dalam hadits qudsi ini Allah SWT. mencintai orang-oran g yang menambah amalan sunnah disamping amalan
wajibnya.
Mari kita rujuk ayat-ayat ilahi yang ada kata-kata Kullu
yang mana kata ini tidak harus berarti
semua/ setiap, tapi bisa
berarti khusus untuk beberapa hal saja.
Firman Allah SWT dalam Al-Kahfi: 79, kisah Nabi Musa as. dengan Khidir (hamba
Allah yang sholeh), sebagai berikut:
“Adapun perahu itu, maka dia adalah miliknya orang orang miskin
yang bermata pencaharia n
dilautan dan aku bertujuan merusaknya karena dibelakang mereka terdapat seorang raja yang suka merampas
semua perahu”.
Ayat ini menunjukka n
tidak semua perahu yang akan dirampas oleh raja itu, melainkan perahu yang masih
dalam kondisi baik saja. Oleh karenanya Khidir/ seorang hamba yang sholeh sengaja
membocorka n perahu
orang-oran g miskin itu agar
terlihat sebagai perahu yang cacat/ jelek sehingga tidaklah dia ikut dirampas oleh raja itu.
Dengan demikian maka kata safiinah dalam Al-Qur’an itu maknanya adalah
safiinah hasanah atau perahu yang baik. Ini berarti safiinah
diayat ini tidak bersifat umum dalam arti tidak semua safiinah/ perahu yang akan dirampas oleh raja melainkan safiinah
hasanah saja walaupun didalam ayat itu disebut Kullu safiinah
(semua/ setiap perahu).
Dalam surat Al-Ahqaf ayat 25 Allah SWT.berfir man : “Angin taufan itu telah
menghancur kan segala
sesuatu atas perintah Tuhannya”. Namun demikian keumuman pada ayat diatas ini
tidak terpakai karena pada saat itu gunung-gun ung, langit dan bumi tidak ikut hancur.
Dalam surat An-Naml ayat 23 Allah SWT.berfir man : “Ratu Balqis itu telah diberikan
segala sesuatu”. Keumuman pada ayat ini juga tidak
terpakai karena Ratu Balqis tidak diberi singgasana dan kekuasaan seperti yang diberikan kepada Nabi
Sulaiman as.
Dalam surat Thoha ayat 15 Allah SWT. berfirman : “Agar setiap manusia
menerima balasan atas apa yang telah diusahakan nya”. Kalimat ‘apa yang telah
diusahakan nya’ mencakup semua
amal baik yang hasanah (baik) maupun yang sayyiah (jelek). Namun demikian amal
yang sayyiah yang telah diampuni oleh Allah SWT.
tidaklah termasuk yang akan memperoleh balasannya (siksa).
Dalam surat Aali ‘Imran : 173 Allah SWT. berfirman mengenai suatu peristiwa
dalam perang Uhud :
“Kepada mereka (kaum Muslimin) ada yang
mengatakan bahwa semua orang (di
Mekkah) telah mengumpulk an pasukan untuk menyerang… .” Yang dimaksud semua orang
(an-naas) dalam ayat ini tidak bermakna secara
harfiahnya , tetapi hanya untuk
kaum musyrikin Quraisy di Mekkah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb yang
memerangi Rasulullah saw. dan kaum
Muslimin didaratan tinggi Uhud, jadi bukan semua orang Mekkah atau semua orang
Arab.
Dalam surat Al-Anbiya : 98 : “Sesungguh nya kalian dan apa yang kalian sembah selain Alah
adalah umpan neraka jahannam.. ”. Ayat ini sama sekali tidak boleh
ditafsirka n bahwa Nabi ‘Isa as
dan bundanya yang dipertuhan kan
oleh kaum Nasrani akan menajdi umpan neraka. Begitu juga para malaikat yang oleh
kaum musyrikin lainnya dianggap sebagai tuhan-tuha n mereka.
Dalam surat Aali ‘Imran : 159 : “Ajaklah mereka
bermusyawa rah dalam suatu urusan…”.
Kalimat dalam suatu urusan (fil amri) tidak bermakna semua urusan
termasuk urusan agama dan urusan akhirat , tidak ! Yang dimaksud urusan
dalam hal ini ialah urusan duniawi. Allah SWT. tidak
memerintah kan Rasul-Nya supaya
memusyawar ahkan soal-soal
keagamaan atau keukhrawia n
dengan para sahabatnya atau dengan
ummatnya.
Dalam surat Al-An’am : 44 : ‘Kami bukakan bagi mereka pintu segala
sesuatu’. Akan tetapi pengertian ayat ini terkait, Allah tidak
membukakan pintu rahmat bagi
mereka (orang-ora ng kafir durhaka).
Kalimat segala sesuatu adalah umum, tetapi kalimat itu bermaksud
khusus.
Dalam surat Al-Isra : 70 : “Dan sesungguhn ya telah Kami muliakan anak-anak Adam….dan
seterusnya “. Firman Allah
ini bersifat umum, sebab Allah SWT. juga telah berfirman, bahwa ada manusia-ma nusia yang mempunyai hati tetapi tidak memahami
ayat-ayat Allah, mempunyai mata tetapi tidak menggunaka nnya untuk melihat tanda-tand a kekuasaan Allah, dan mempunyai telinga tetapi
tidak menggunaka nnya untuk
mendengark an
firman-fir man Allah; mereka itu
bagaikan binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi
(QS.Al-A’r af : 179).
Jadi jelaslah, bahwa secara umum manusia adalah makhluk yang mulia,
tetapi secara khusus banyak manusia yang setaraf dengan binatang ternak, bahkan
lebih sesat. Masih banyak lagi ayat-ayat Ilahi yang walaupun
didalamnya terdapat keumuman
namun ternyata keumumanny a itu tidak
terpakai untuk semua hal atau masalah. !!
Sebuah hadits Nabi saw. yang diriwayatk an oleh Imam Muslim, Rasulullah saw. bersabda: “Orang yang
menunaikan sholat sebelum matahari
terbit dan sebelum matahari terbenam tidak akan masuk neraka”. Hadits
ini bersifat umum, tidak dapat diartikan secara harfiah. Yang dimaksud oleh
hadits tersebut bukan berarti bahwa seorang Muslim cukup dengan sholat shubuh
dan maghrib saja, tidak diwajibkan menunaikan sholat wajib yang lain seperti dhuhur, ashar dan isya
!
Ibnu Hajar mengatakan ;
‘ Hadits-had its shahih yang
mengenai satu persoalan2 harus
dihubungka n satu sama lain untuk dapat
diketahui dengan jelas maknanya yang muthlak dan yang
muqayyad. Dengan demikian maka semua yang
di-isyarat kan oleh
hadits-had its itu semuanya dapat
dilaksana- kan’.
Dalam shohih Bukhori dan juga dalam
Al-Muwatth a
terdapat penegasan Rasulullah
saw. yang menyatakan bahwa jasad
semua anak Adam akan hancur dimakan tanah. Mengenai itu Ibnu ‘Abdul Birr
rh. dalam At-Tamhid mengatakan : Hadits mengenai itu menurut lahirnya dan menurut
keumuman maknanya adalah, bahwa semua anak Adam sama dalam hal itu. Akan tetapi
dalam hadits yang lain Rasulullah saw. menegaskan pula, bahwa jasad para Nabi dan para pahlawan
syahid tidak akan dimakan tanah (hancur) !
Masih banyak contoh seperti diatas baik didalam nash Al-Qur’an maupun
Hadits. Banyak sekali ayat Ilahi yang menurut kalimatnya bersifat umum, dan dalam ayat yang lain
dikhususka n maksud dan maknanya,
demikian pula banyak terdapat didalam hadits. Begitu banyaknya sehingga ada
sekelompok ulama
mengatakan ; ‘Hal yang umum
hendaknya tidak diamalkan dulu sebelum dicari kekhususan -kekhususa nnya’.
Begitu juga halnya dengan hadits Nabi ‘Kullu bid’ atin
dholalah’ walaupun sifatnya umum tapi berdasarka n dalil hadits lainnya maka
disimpulka nlah bahwa tidak
semua bid’ah (prakarsa) itu
dholalah/ sesat ! Mereka
juga lupa yang disebut agama bukan hanya masalah peribadata n saja. Allah SWT. menetapkan agama Islam bagi umat manusia mencakup semua
perilaku dan segi kehidupan manusia. Yang kesemuanya ini bisa dimasuki bid’ah baik yang hasanah maupun
yang sayyiah/ buruk.
Banyak kenyataan membuktika n, bahwa Rasulullah saw. membenarka n dan meirdhoi macam-maca m perbuatan yang berada diluar perintah Allah dan
perintah beliau saw. Silahkan baca kembali hadits-had its yang telah kami kemukakan diatas.
Bagaimanak ah cara kita memahami semua
persoalan itu? Apakah kita berpegang pada satu hadits Nabi (yakni kalimat: semua
bid’ah adalah sesat) diatas dan kita buang ayat ilahi dan
hadits-had its yang lain yang
lebih jelas uraiannya (yang menganjurk an manusia selalu berbuat kebaikan) ? Yang benar
ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima
kebenarann ya oleh
jumhurul-u lama. Untuk itu tidak
ada jalan yang lebih tepat daripada yang telah ditunjukka n oleh para imam dan ulama Fiqih, yaitu
sebagaiman a yang telah
dipecahkan oleh Imam Syafi’i dan
lain-lain.
Insya Allah dengan keterangan singkat tentang hadits-had its Rasulullah saw. masalah Bid’ah, akan bisa membuka pikiran
kita untuk mengetahui bid’ah
mana yang haram dan bid’ah yang Hasanah/ baik. Untuk lebih lengkapnya keterangan yang saya kutip dalam hal bid’ah ini, silahkan
membaca buku Pembahasan Tuntas
Perihal Khilafiyah oleh H.M.H
Al-HAMID – AL-HUSAINI .